Minggu, 17 Februari 2008

ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LILALAMIN

Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Kedatangan islam membawa berita gembira bagi umat manusia. Istam tak memandang bangsa tertentu, bahasa, warna kulit, suku, ras, golongan bahkan orientasi seks seseorang.

Di masyarakat kita, ada kesan bahwa agama (islam) dan kau marjinal (waria, gay, lesbi, dll) tak ubahnya laksana air dengan minyak. Agama selalu memberi ancaman adzab dan neraka kelak buat golongan marjinal itu diakherat nanti. Seakan-akan kau tersebut “tercipta” sebagai penghuni pasti neraka allah swt yang tak perlu berihtiar didunia dalam mencapai ridha tuhan. Karena neraka sudah pasti menunggu mereka akibat dosa-dosa mereka.

Namun, saya merasa ada yang kurang tepat didalam memandang mereka dari sudut agama. Seperti yang kita yakini selama ini. Semestinya kita menkaji lebih jauh, memahami lebih bijak makna-makna naskah yang ada dalam alquran dan alhadist. Kita tak bias langsung menjustifikasi fenomena yang ada dewasa ini dengankeberadaan kaum nabi luth. Begitu pula kaum waria dengan masa-masa nabi. Menurut saya kehidupan sebagai waria, gay dan lesbi adalah sebuah titah. Yang kadang dalam kacamata kedominanan kita memandang semua itu murni sebagai perilaku menyimpang.

Sebagai bukti argumen saya, tak seorangpun diantara kaum marjinal itu mau dengan kondisi sekarang. Andai bias diberi pilihan untuk hidup normal speerti yang lain. Istilahnya, andai bias kembali kerahim ibu pastilah mereka meminta terlahir sebagai laki-laki tulen ataupun wanita sejati.

Jadi, sangat bijaksana jika kita bias menyikapi fenomenba kaum marjinal tidak dengan debat kusir belaka. Mestinya kita semua menyikapi secara bijak dan proporsional dan tidak menvonis secara membabi buta.

ANTARA NASIONALISME dan PERUT

ANTARA NASIONALISME DAN PERUT

Setelah pulau ambalat dan legitan lepas dari pangkuan ibu pertiwi, menyusul pula reog ponorogo, lagu sijali-jali, batik, jamu, tahu-tempe dan bahkan banyak lagi kekayaan alam dan budaya Indonesia yang diklaim negara lain kini kembali mencuat satu kemelut yang membuat Indonesia kembali kebakaran jenggot.

Betapa tidak. Krisis multidimensi yang mendera Indonesia menjadikan TKI menjadi pilihan termudah. Hal ini makin diperparah oleh kurangnya perhatian dan rasa penghargaan pemerintah kepada warganya yang memiliki keahlian dan kemampuan. Hal ini membuat mereka lebih memilih berkarya dinegeri orang lain.

Saat ini, kembali hangat pemberitaan banyaknya warga Indonesia (tki) yang menjadi militan dinegeri jiran. Perekrutan mereka menjadi pasukan penjaga perbatasan menimbulkan tanda Tanya akan nasionalisme mereka. Benarkan rasa nasionalsime itu telah pudar di sanubari mereka? Lalu siapa yang musti bertanggung jawab. Mereka atau pemerintah yang tidak peduli dengan kesejahteraan mereka. Sikap acuh pemerintah yang tak lagi menanamkan sikap nasionalisme. Mestikah alasan perut (ekonomi dan kersejahteraan) meski kita maklumi. Sekarang, menjadi tugas kita semua untuk mewujudkan negeri yang rahmatan lilalamin

(rubrik "santri")