Senin, 30 Maret 2009

MAPPADEKKO, AKANKAH TINGGAL KENANGAN?

Sebagai orang yang terlahir belakangan, tak jarang kita ingin bertanya kepada saudara-saudara kita, tetangga kita dan terutama kepada tetua-tetua kita akan suatu tradisi yang pada masanya dulu adalah hal yang lazim dilakukan. Adakah mereka pernah melihat dan bahkan terlibat langsung dalam setiap acara-acara tradisi yang saat ini tinggal menjadi cerita dari mulut ke mulut. Salah satu contoh tradisi itu adalah tradisi Mapppadekko. Benarkah orang-orang tua kita dulu kerap melakukan tradisi turun temurun ini yang menandai musim tanam ataupun awal musim panen?, Seperti apa laku dalam menjalankan ritual itu? Khusus di daerah desa Balassuka kabupaten Gowa tradisi mappadekonya seperti apa? Apakah sama dengan tempat lain yang juga mengenal tradisi serupa?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sejenis untuk tradisi masyarakat yang menggunakan lesung dan alu (alat penumpuk padi) sebagai alat musik utamanya. Mappadekko (penulisan menurut dialek Konjo sebagai dialek bahasa penulis) merupakan tradisi tahunan yang dulu kerap dilakukan oleh masyarakat desa Balassuka dikabupaten Gowa yang secara georgafis merupakan daerah pertanian. Mappadekko kerap dilakukan oleh masyarakat sebagai tanda dimulainya musim tanam maupun awal musim panen padi. Mappadekko menggunakan lesung dan alu (penumpuk padi tradisonal yang terbuat dari kayu) yang dilakukan oleh beberapa orang (laki-laki mapupun perempuan) dengan pembagian tugas yang cukup rapih. Salah seorang diantara peserta mappadekkko didaulat sebagai pemimpin dan lainnya sebagai pa’rinci, pakelong dan tentu saja sambil menumpuk gabah yang akan menjadi beras. Satu hal yang unik yang mengiringi acara mappadekko adalah Akapping dan a’ lego-lego. Inilah Mappadekko khas desa Balassuka yang mungkin membedakan dengan tempat lainnya dalam menyambut acara pesta panen tersebut. Akapping adalah tradisi ikutan yang menyertai acara mappadekko dengan menggunakan gabah beras ketam dari hasil panen tahun sebelumnya yang disangrai lalu ditumbuk gepeng. Sedangkan a’lego-lego merupakan gabah ketam yang masih muda yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula. Kedua penganan ringan ini dinikmati bersama-sama oleh peserta mappadekko dan masyarakat sekitarnya. Ritual ini mengandung nilai/ pesan bahwa akapping yang menggunakan gabah ketam sebagai tanda awal musim tanam. sedangkan lego-lego sebagai tanda awal musim panen. Sekarang, masihkah ada diantara kita pernah melihat langsung pertunjukan Mappadekko ini?, baik Mappadekko plus A’kapping maupun Mappadekko plus A’lego-lego?, akankah Mappadekko sebagai dendang ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen akan mejadi legenda di tanah sendiri? Atau bahkan menjadi dongeng yang generasi sekarang tidak tahu mesti dengar dari mana. Ada “persepsi” berkembang dalam masyarakat kita bahwa apa-apa yang berbau tradisional baik itu berupa gagasan, sistem hidup, kebiasaan atau perilaku dan bahkan wujud karya sering dianggap kolot, kuno, ketinggalan zaman sehingga tidak berguna dan layak untuk dibuang. Ada perasaan minder jika mengikuti atau mengadopsi terma-terma dan wujud tradisional itu dalam kehidupan sehari-hari karena kelihatan ganjil dan dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Mungkinkan ini adalah akibat kesalahan kita memandang budaya kita sendiri?entahlah. tetapi yang pasti bagaimana kita bisa menyikapi semua ini secara bijak dan tidak diam hanya sebatas berkoar tanpa usaha dan bakti yang bisa kita berikan. Menjadi amanah bagi kita semua melihat realita seperti diatas. Akankah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai positif tersebut benar- benar akan menjadi dongeng yang akan menjadi kenangan yang tinggal cerita?, sebagai generasi pelanjut adakah suatu tindakan nyata yang bisa kita lakukan sehingga tradisi Mappadekko ini kembali memasyarakat di tanah sendiri?. Penulis kadang berangan-angan bahwa acara mappadekko ini bisa dibawah ke ranah yang lebih terbuka dan menjual seperti halnya tradisi-tradisi adat yang mulai mencuat kepermukaan seperti acara maudu lompoa dicikoang. Tak menutup kemungkinan daerah yang tadinya tak pernah terakses bisa mencuat dengan menjual mappadekko sebagai jualan pruduk pariwisata daerahnya.

Selasa, 24 Maret 2009

MAPPADEKKO, AKANKAH TINGGAL KENANGAN?

Sebagai orang yang terlahir belakangan, tak jarang kita ingin bertanya kepada saudara-saudara kita, tetangga kita dan terutama kepada tetua-tetua kita akan suatu tradisi yang pada masanya dulu adalah hal yang lazim dilakukan. Adakah mereka pernah melihat dan bahkan terlibat langsung dalam setiap acara-acara tradisi yang saat ini tinggal menjadi cerita dari mulut ke mulut. Salah satu contoh tradisi itu adalah tradisi Mapppadekko. Benarkah orang-orang tua kita dulu kerap melakukan tradisi turun temurun ini yang menandai musim tanam ataupun awal musim panen?, Seperti apa laku dalam menjalankan ritual itu? Khusus di daerah desa Balassuka kabupaten Gowa tradisi mappadekonya seperti apa? Apakah sama dengan tempat lain yang juga mengenal tradisi serupa?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sejenis untuk tradisi masyarakat yang menggunakan lesung dan alu (alat penumpuk padi) sebagai alat musik utamanya. Mappadekko (penulisan menurut dialek Konjo sebagai dialek bahasa penulis) merupakan tradisi tahunan yang dulu kerap dilakukan oleh masyarakat desa Balassuka dikabupaten Gowa yang secara georgafis merupakan daerah pertanian. Mappadekko kerap dilakukan oleh masyarakat sebagai tanda dimulainya musim tanam maupun awal musim panen padi. Mappadekko menggunakan lesung dan alu (penumpuk padi tradisonal yang terbuat dari kayu) yang dilakukan oleh beberapa orang (laki-laki mapupun perempuan) dengan pembagian tugas yang cukup rapih. Salah seorang diantara peserta mappadekkko didaulat sebagai pemimpin dan lainnya sebagai pa’rinci, pakelong dan tentu saja sambil menumpuk gabah yang akan menjadi beras. Satu hal yang unik yang mengiringi acara mappadekko adalah Akapping dan a’ lego-lego. Inilah Mappadekko khas desa Balassuka yang mungkin membedakan dengan tempat lainnya dalam menyambut acara pesta panen tersebut. Akapping adalah tradisi ikutan yang menyertai acara mappadekko dengan menggunakan gabah beras ketam dari hasil panen tahun sebelumnya yang disangrai lalu ditumbuk gepeng. Sedangkan a’lego-lego merupakan gabah ketam yang masih muda yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula. Kedua penganan ringan ini dinikmati bersama-sama oleh peserta mappadekko dan masyarakat sekitarnya. Ritual ini mengandung nilai/ pesan bahwa akapping yang menggunakan gabah ketam sebagai tanda awal musim tanam. sedangkan lego-lego sebagai tanda awal musim panen. Sekarang, masihkah ada diantara kita pernah melihat langsung pertunjukan Mappadekko ini?, baik Mappadekko plus A’kapping maupun Mappadekko plus A’lego-lego?, akankah Mappadekko sebagai dendang ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen akan mejadi legenda di tanah sendiri? Atau bahkan menjadi dongeng yang generasi sekarang tidak tahu mesti dengar dari mana. Ada “persepsi” berkembang dalam masyarakat kita bahwa apa-apa yang berbau tradisional baik itu berupa gagasan, sistem hidup, kebiasaan atau perilaku dan bahkan wujud karya sering dianggap kolot, kuno, ketinggalan zaman sehingga tidak berguna dan layak untuk dibuang. Ada perasaan minder jika mengikuti atau mengadopsi terma-terma dan wujud tradisional itu dalam kehidupan sehari-hari karena kelihatan ganjil dan dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Mungkinkan ini adalah akibat kesalahan kita memandang budaya kita sendiri?entahlah. tetapi yang pasti bagaimana kita bisa menyikapi semua ini secara bijak dan tidak diam hanya sebatas berkoar tanpa usaha dan bakti yang bisa kita berikan. Menjadi amanah bagi kita semua melihat realita seperti diatas. Akankah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai positif tersebut benar- benar akan menjadi dongeng yang akan menjadi kenangan yang tinggal cerita?, sebagai generasi pelanjut adakah suatu tindakan nyata yang bisa kita lakukan sehingga tradisi Mappadekko ini kembali memasyarakat di tanah sendiri?. Penulis kadang berangan-angan bahwa acara mappadekko ini bisa dibawah ke ranah yang lebih terbuka dan menjual seperti halnya tradisi-tradisi adat yang mulai mencuat kepermukaan seperti acara maudu lompoa dicikoang. Tak menutup kemungkinan daerah yang tadinya tak pernah terakses bisa mencuat dengan menjual mappadekko sebagai jualan pruduk pariwisata daerahnya.