Jumat, 28 November 2008

Memahasiswakan mahasiswa dalam upaya pencegahan hiv/aids

Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulawesi Selatan Anwar M Diah pernah pernah mengatakan bahwa ada 5000 orang tertular virus HIV/AIDS setiap hari. Dari hasil survei Komisi Perlindungan AIDS (KPA) nasional, rata-rata 5.000 orang sehat tertular virus HIV setiap hari. Rata-rata yang tertular virus HIV sesuai data KPA nasional itu adalah usia produktif antara 15-24 tahun. Sementara dari total 5000 yang tertular setiap hari itu, sekitar 1.400 usia 0-5 tahun. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena fenomena yang muncul ke permukaan itu bagian dari fenomena gunung es. Artinya, dari data yang ada maka yang belum terdeteksi masih ada sepuluh kali lipat dari jumlah yang ada. Kampanye AIDS Sedunia kali inimengumumkan bahwa “kepemimpinan” menjadi tema Hari AIDS Sedunia untuk tahun 2008. Dipromosikan dengan slogan, “Stop AIDS. Tepati Janji”, yang merupakan fokus Kampanye AIDS Sedunia dari tahun 2005-2010, “kepemimpinan” membangun dari fokus Hari AIDS Sedunia 2006 tentang akuntabilitas. Hari AIDS Sedunia dirayakan pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Kepemimpinan dapat berarti kekuasaan dan otoritas untuk bertindak, untuk memimpin dengan aksi dan contoh. Dengan mengangkat tema global kepemimpinan untuk Hari AIDS Sedunia,mahasiswa membantu menyuarakan sebuah visi, membangun kerjasama dan aksi nyata dengan bersatu dengan semua orang dan berkomitmen untuk mencapai akses universal untuk pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV.” Mahasiswa sebagai komunitas intektual memiliki semangat menuju kemandirian, Secara moralitas mahasiswa mampu bersikap dan bertindak lebih baik dari yang lainnya karena mereka mempunyai latar belakang sebagai kaum intelektual, dimana mereka mengatakan yang benar itu adalah benar dengan penuh kejujuran, keberanian, dan rendah hati. Mahasiswa juga dituntut untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya dan terbuka kepada siapa saja. Termasuk pada persoalan HIV/AIDS yang kadang masih menjadi polemik dan banyak menyimpan pro dan kontra dalam masyarakat awam. Untuk itu mahasiswa dengan segala kelebihan memiliki peranan penting dalam upaya pencegahan HIV/AIDS. Ada lima hal yang melatarbelakangi penyebab tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap berbagai persoalan termasuk kepekaan mengenai HIV/AIDS, yaitu : Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki berbagai lapisan stara. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian. Orang muda adalah kelompok yang paling rentang terkena HIV/AIDS namun mereka juga memiliki peran penting dalam penanggulangan pandemi ini. Kepemimpinan muda penting dalam respon internasional yang efektif terhadap HIV/AIDS dan orang muda harus diberdayakan dengan pengetahuan, keterampilan dan sumberdaya yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuan akses universal2010. semua ini pastilah bisa di wujudkan oleh yang namanya mahasiswa.

Selasa, 25 November 2008

ANARKISME MAHASISWA MAKASSAR

Sebuah pertanyaan bernada klise selalu tampil ketika terjadi aksi anarkis mahasiswa khususnya mahasiswa Makassar. Apa yang menyebabkan mahasiswa begitu bringas dan selalu melakukan keonaran, tawuran, dan tindak kekerasan? Apakah tidak terlalu berlebihan apabila bentuk solidaritas dan kesetiakawanan terhadap rekan sesama mahasiswa justru melahirkan masalah baru dan besar? Seperti contoh kasus yang terjadi di kampus Unismuh Makassar beberapa waktu yang lalu. Mahasiswa bentrok dengan aparat kepolisian hanya karena mahasiswa menilai bahwa salah seorang rekan mereka murni terkena peluru milik salah seorang oknum anggota polri. Kita barangkali sudah jenuh dan bahkan muak bila melihat, mendengar, dan membaca di media-media tentang aksi anarkis mahasiswa khususnya di Makassar yang kian sering terjadi dan amat memprihatinkan itu. Sebagian orang menilai aksi anarkis mahasiswa dari sudut pandang psikologi perkembangan bahwa itu semua terjadi karena luapan gejolak jiwa muda yang masih dalam proses pencarian identitas diri. Sebagian lagi melihatnya sebagai ekses dari revolusi komunikasi (informasi) dan dampak globalisasi. Namun, ketika aksi mahasiswa itu telah mengganggu ketertiban umum seperti memacetkan arus lalu lintas, membajak kendaraan yang kebetulan lewat di depan kampus mereka, merusak fasilitas umum maka gejala ini sudah memasuki wilayah umum (kriminalitas), anomi massa dan religiositas. Aksi mahasiswa UIN Makassar sebagai bentuk solidaritas atas aksi rekan mereka dari mahasiswa Unismuh menjadi contoh nyata. Tindakan mahasiswa menutup akses jalan di depan kampus telah menimbulkan kesalahpahaman dengan iring-iringan pengantar jenasah yang berakhir ricuh. Berbagai argumen sosiologi dan psikologi selalu dikedepankan tetapi fenomena ini seakan tidak pernah surut. Dalam pandangan psikologi perkembangan mengatakan bahwa usia tingkat mahasiswa dianggap wajar sebagai proses pencarian identitas. Tetapi pendekatan ini tidak memadai karena mengabaikan factor-faktor sosiologis yang memungkinkan mereka belajar dari setiap peristiwa yang ada. Dalam perkembangannya, mahasiswa memiliki tipe yang berbeda. Ada mahasiswa yang tidak sadar dengan ketidakmampuannya (unconsciously incompetent), ada mahasiswa yang sadar akan ketidak mampuannya (consciously incompetent), ada mahasiswa yang sadar akan kemampuannya (consciously competence), dan mahasiswa yang tidak sadar akan kemampuannya (unconsciously competence). Dalam kaitan ini ada dua ciri utama dari mahasiswa Makassar yang sering terlibat aksi anarkis selama ini. Pertama, mereka umumnya berasal dari komunitas marjinal. Baik aspek latar belakang ekonomi keluarga, asal institusi, maupun interaksi antara mahasiswa dan pihak birokrasi di kampus mereka. Dengan kata lain aksi anarkis jarang dilakukan oleh mahasiswa dari perguruan tinggi elite atau mahasiswa yang memiliki prestasi akademik dan perguruan tinggi yang memiliki suasana kampus yang mendukung. Kedua, aksi anarkis mahasiswa selalu menunjukkan gejala pengelompokan massa dengan agesivitas yang progresif. Kondisi ini boleh jadi karena faktor jiwa muda yang ingin menunjukkan bahwa mereka lebih hebat dari yang lainnya. Menurut teori, agresifitas manusia muncul sebagai akibat kenyataan hidup yang selalu memperoleh tekanan dari kondisi sekitar. Sementara fenomena mahasiswa selalu ingin bebas dari tekanan dan penuh idealisme. Dan ini adalah pengalaman pribadi penulis sewaktu masih menempuh pendidikan disebuah universitas di Makassar. Betapa repotnya untuk berinteraksi secara kekeluargaan dengan dosen. Hubungan antara dosen dengan mahasiswa begitu kaku yang dipisahkan oleh sekat pembeda. Mahasiswa kadang malas untuk berinteraksi dengan dosen karena dosennya terkesan tidak familiar. Dosen selalu sibuk dengan urusan diluar sehingga waktu untuk mahasiswa untuk konsultasi akademik teramat terbatas. Antonio gransci menyebut fenomena ini dengan block social (social block) yang membuat mereka tidak dapat berbuat banyak pada kenyataan hidup. Sosiolog A.H Halsey membuktikan bahwa ada korelasi positif antara latar belakang keluarga, keberhasilan pendidikan dan kondisi lingkungan keseharian. Sungguh ironis mengingat posisi mahasiswa sebagai calon-calon intelektual di masyarakat malah terjerumus dalam tindakan sesaat yang melibatkan kekuatan otot. Padahal mereka sesungguhnya mendapat tanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa yang kian kompleks. Muncul pertanyaan. Apa sebenarnya yang terjadi pada mahasiswa khususnya mahasiswa Makassar. Mengapa tindakan anarkis kerap terjadi. Apakah ada yang salah dengan model-medel pendidikan tinggi di Makassar? Ataukan mereka sudah apatis dengan predikat mereka dan menganggap bahwa status mahasiswa hanyalah sebuah jenjang pendidikan biasa. Terutama mengingat begitu membludaknya pengangguran intelektual yang ada dikota Makassar ini. Idealnya seorang mahasiwa mustinya menjadi mahasiwa yang sadar akan kemampuannya (consciously competent).