Sabtu, 11 April 2009

Promosi Kearifan Lokal “ IYYE’ ” Secara Elegan.

Promosi Kearifan Lokal “ IYYE’ ” Secara Elegan. Sungguh, rasanya aneh dan terasa lain bila harus menggunakan dialek iyye’ dan kawan-kawannya ditempat-tempat umum terlebih di sekolah yang notabene adalah tempat para anak didik kita menuntut ilmu. Seperti Kita sebagai Suku Makassar-bugis sangat kental dengan dialek-dialek khasnya Seperti “ IYYE’ ” sebagai ungkapan mengiakan yang sopan. Bentuk indentitas yang arif namun kadang kita merasa malu, canggung dan bahkan merasa udik bila menggunakannya di tempat-tempat umum. Beragam wujud warisan budaya lokal seperti ini mustinya memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu, sekarang dan mungkin yang akan datang. Masalahnya kearifan local tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk di makan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jati dirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia,yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan asset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita termasuk dialek “ IYYE’ ” yang pantas untuk dibanggakan kepada orang lain. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya memelihara warisan budaya lokal untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable).Jadi bukan pelestarian yang hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan kita. Hal inilah yang menjadi alasan utama penulis untuk tetap pede dengan kata iyye’ saat berinteraksi dengan anak didik yang notabene bukan dari rumpun “ iyye’ ”. Menunaikan tugas sebagai seorang pendidik dengan tugas utama mentransfer ilmu yang di miliki (mata pelajaran yang diasuh disekolah) disamping memperkenalkan indahnya buadaya lokal kita adalah cara yang elegant untuk memperkenalkan jati diri kita kepada orang lain. Nilai positif lain yang bias diperoleh adalah mendekatkan seorang pendidik dan anak didik secara emosional karena kata iyye adalah ungkapan sopan dari seseorang. Anaka didik yang merasa dihargai oleh gurunya akan memberikan reaksi positif dalam proses belajar mengajar. Untuk itu, alangkah bijaknya sekiranya para pakar pelestarian turun dari menara gadingnya dan merangkul masyarakat manapun menjadi pecinta pelestarian yang bergairah. Pelestarian jangan hanya tinggal dalam buku tebal disertasi para doktor, jangan hanya diperbincangkan dalam seminar para intelektual di hotel mewah, apalagi hanya menjadi hobi para orang kaya. Pelestarian harus hidup dan berkembang di masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas siapapun dan apapun profesi orang tersebut. Singkat kata pelestarian akan dapat sustainable jika berbasis pada kekuatan dalam, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Karenanya sangat di perlukan penggerak, pemerhati,pecinta dan pendukung dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu perlu ditumbuh kembangkan motivasi yang kuat untuk ikut tergerak berpartisipasi melaksanakan pelestarian. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pelestarian budaya lokal juga mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas juga sebagai penumbuh kepedulian masyarakat untuk mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama di antara anggota komunitas. Budaya lokal “ IYYE’ ” merupakan warisan budaya yang wajib di lestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naïf jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan pelestariannya demi menggapai burung terbang sementara punai di tangan dilepaskan.

Senin, 30 Maret 2009

MAPPADEKKO, AKANKAH TINGGAL KENANGAN?

Sebagai orang yang terlahir belakangan, tak jarang kita ingin bertanya kepada saudara-saudara kita, tetangga kita dan terutama kepada tetua-tetua kita akan suatu tradisi yang pada masanya dulu adalah hal yang lazim dilakukan. Adakah mereka pernah melihat dan bahkan terlibat langsung dalam setiap acara-acara tradisi yang saat ini tinggal menjadi cerita dari mulut ke mulut. Salah satu contoh tradisi itu adalah tradisi Mapppadekko. Benarkah orang-orang tua kita dulu kerap melakukan tradisi turun temurun ini yang menandai musim tanam ataupun awal musim panen?, Seperti apa laku dalam menjalankan ritual itu? Khusus di daerah desa Balassuka kabupaten Gowa tradisi mappadekonya seperti apa? Apakah sama dengan tempat lain yang juga mengenal tradisi serupa?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sejenis untuk tradisi masyarakat yang menggunakan lesung dan alu (alat penumpuk padi) sebagai alat musik utamanya. Mappadekko (penulisan menurut dialek Konjo sebagai dialek bahasa penulis) merupakan tradisi tahunan yang dulu kerap dilakukan oleh masyarakat desa Balassuka dikabupaten Gowa yang secara georgafis merupakan daerah pertanian. Mappadekko kerap dilakukan oleh masyarakat sebagai tanda dimulainya musim tanam maupun awal musim panen padi. Mappadekko menggunakan lesung dan alu (penumpuk padi tradisonal yang terbuat dari kayu) yang dilakukan oleh beberapa orang (laki-laki mapupun perempuan) dengan pembagian tugas yang cukup rapih. Salah seorang diantara peserta mappadekkko didaulat sebagai pemimpin dan lainnya sebagai pa’rinci, pakelong dan tentu saja sambil menumpuk gabah yang akan menjadi beras. Satu hal yang unik yang mengiringi acara mappadekko adalah Akapping dan a’ lego-lego. Inilah Mappadekko khas desa Balassuka yang mungkin membedakan dengan tempat lainnya dalam menyambut acara pesta panen tersebut. Akapping adalah tradisi ikutan yang menyertai acara mappadekko dengan menggunakan gabah beras ketam dari hasil panen tahun sebelumnya yang disangrai lalu ditumbuk gepeng. Sedangkan a’lego-lego merupakan gabah ketam yang masih muda yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula. Kedua penganan ringan ini dinikmati bersama-sama oleh peserta mappadekko dan masyarakat sekitarnya. Ritual ini mengandung nilai/ pesan bahwa akapping yang menggunakan gabah ketam sebagai tanda awal musim tanam. sedangkan lego-lego sebagai tanda awal musim panen. Sekarang, masihkah ada diantara kita pernah melihat langsung pertunjukan Mappadekko ini?, baik Mappadekko plus A’kapping maupun Mappadekko plus A’lego-lego?, akankah Mappadekko sebagai dendang ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen akan mejadi legenda di tanah sendiri? Atau bahkan menjadi dongeng yang generasi sekarang tidak tahu mesti dengar dari mana. Ada “persepsi” berkembang dalam masyarakat kita bahwa apa-apa yang berbau tradisional baik itu berupa gagasan, sistem hidup, kebiasaan atau perilaku dan bahkan wujud karya sering dianggap kolot, kuno, ketinggalan zaman sehingga tidak berguna dan layak untuk dibuang. Ada perasaan minder jika mengikuti atau mengadopsi terma-terma dan wujud tradisional itu dalam kehidupan sehari-hari karena kelihatan ganjil dan dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Mungkinkan ini adalah akibat kesalahan kita memandang budaya kita sendiri?entahlah. tetapi yang pasti bagaimana kita bisa menyikapi semua ini secara bijak dan tidak diam hanya sebatas berkoar tanpa usaha dan bakti yang bisa kita berikan. Menjadi amanah bagi kita semua melihat realita seperti diatas. Akankah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai positif tersebut benar- benar akan menjadi dongeng yang akan menjadi kenangan yang tinggal cerita?, sebagai generasi pelanjut adakah suatu tindakan nyata yang bisa kita lakukan sehingga tradisi Mappadekko ini kembali memasyarakat di tanah sendiri?. Penulis kadang berangan-angan bahwa acara mappadekko ini bisa dibawah ke ranah yang lebih terbuka dan menjual seperti halnya tradisi-tradisi adat yang mulai mencuat kepermukaan seperti acara maudu lompoa dicikoang. Tak menutup kemungkinan daerah yang tadinya tak pernah terakses bisa mencuat dengan menjual mappadekko sebagai jualan pruduk pariwisata daerahnya.

Selasa, 24 Maret 2009

MAPPADEKKO, AKANKAH TINGGAL KENANGAN?

Sebagai orang yang terlahir belakangan, tak jarang kita ingin bertanya kepada saudara-saudara kita, tetangga kita dan terutama kepada tetua-tetua kita akan suatu tradisi yang pada masanya dulu adalah hal yang lazim dilakukan. Adakah mereka pernah melihat dan bahkan terlibat langsung dalam setiap acara-acara tradisi yang saat ini tinggal menjadi cerita dari mulut ke mulut. Salah satu contoh tradisi itu adalah tradisi Mapppadekko. Benarkah orang-orang tua kita dulu kerap melakukan tradisi turun temurun ini yang menandai musim tanam ataupun awal musim panen?, Seperti apa laku dalam menjalankan ritual itu? Khusus di daerah desa Balassuka kabupaten Gowa tradisi mappadekonya seperti apa? Apakah sama dengan tempat lain yang juga mengenal tradisi serupa?. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sejenis untuk tradisi masyarakat yang menggunakan lesung dan alu (alat penumpuk padi) sebagai alat musik utamanya. Mappadekko (penulisan menurut dialek Konjo sebagai dialek bahasa penulis) merupakan tradisi tahunan yang dulu kerap dilakukan oleh masyarakat desa Balassuka dikabupaten Gowa yang secara georgafis merupakan daerah pertanian. Mappadekko kerap dilakukan oleh masyarakat sebagai tanda dimulainya musim tanam maupun awal musim panen padi. Mappadekko menggunakan lesung dan alu (penumpuk padi tradisonal yang terbuat dari kayu) yang dilakukan oleh beberapa orang (laki-laki mapupun perempuan) dengan pembagian tugas yang cukup rapih. Salah seorang diantara peserta mappadekkko didaulat sebagai pemimpin dan lainnya sebagai pa’rinci, pakelong dan tentu saja sambil menumpuk gabah yang akan menjadi beras. Satu hal yang unik yang mengiringi acara mappadekko adalah Akapping dan a’ lego-lego. Inilah Mappadekko khas desa Balassuka yang mungkin membedakan dengan tempat lainnya dalam menyambut acara pesta panen tersebut. Akapping adalah tradisi ikutan yang menyertai acara mappadekko dengan menggunakan gabah beras ketam dari hasil panen tahun sebelumnya yang disangrai lalu ditumbuk gepeng. Sedangkan a’lego-lego merupakan gabah ketam yang masih muda yang dicampur dengan parutan kelapa dan gula. Kedua penganan ringan ini dinikmati bersama-sama oleh peserta mappadekko dan masyarakat sekitarnya. Ritual ini mengandung nilai/ pesan bahwa akapping yang menggunakan gabah ketam sebagai tanda awal musim tanam. sedangkan lego-lego sebagai tanda awal musim panen. Sekarang, masihkah ada diantara kita pernah melihat langsung pertunjukan Mappadekko ini?, baik Mappadekko plus A’kapping maupun Mappadekko plus A’lego-lego?, akankah Mappadekko sebagai dendang ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen akan mejadi legenda di tanah sendiri? Atau bahkan menjadi dongeng yang generasi sekarang tidak tahu mesti dengar dari mana. Ada “persepsi” berkembang dalam masyarakat kita bahwa apa-apa yang berbau tradisional baik itu berupa gagasan, sistem hidup, kebiasaan atau perilaku dan bahkan wujud karya sering dianggap kolot, kuno, ketinggalan zaman sehingga tidak berguna dan layak untuk dibuang. Ada perasaan minder jika mengikuti atau mengadopsi terma-terma dan wujud tradisional itu dalam kehidupan sehari-hari karena kelihatan ganjil dan dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Mungkinkan ini adalah akibat kesalahan kita memandang budaya kita sendiri?entahlah. tetapi yang pasti bagaimana kita bisa menyikapi semua ini secara bijak dan tidak diam hanya sebatas berkoar tanpa usaha dan bakti yang bisa kita berikan. Menjadi amanah bagi kita semua melihat realita seperti diatas. Akankah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai positif tersebut benar- benar akan menjadi dongeng yang akan menjadi kenangan yang tinggal cerita?, sebagai generasi pelanjut adakah suatu tindakan nyata yang bisa kita lakukan sehingga tradisi Mappadekko ini kembali memasyarakat di tanah sendiri?. Penulis kadang berangan-angan bahwa acara mappadekko ini bisa dibawah ke ranah yang lebih terbuka dan menjual seperti halnya tradisi-tradisi adat yang mulai mencuat kepermukaan seperti acara maudu lompoa dicikoang. Tak menutup kemungkinan daerah yang tadinya tak pernah terakses bisa mencuat dengan menjual mappadekko sebagai jualan pruduk pariwisata daerahnya.

Jumat, 06 Februari 2009

BAHASA SINETRON.

Makalah dengan judul, “ Bahasa Sinetron Sebagai Pemicu Rusaknya Jati Diri Bangsa” telah mengantar widyaningrum dan dinar agra duandi sebagai dua bahasa Indonesia 2008. namun, makalah dan opini mereka tersebut sempat menggelitik benak saya. Muncul berbagai pertanyaan sebagai bantahan atau opini tandingan buat mereka berdua. Apakah dalam berbahasa ada gaya dan ucapan tertentu yang bias dikategorikan bahasa terebut salah atau benar. Yang mana itu? Apakah ucapan yang patah-patah, cadel, sengau, nyaring, lembut dan sebagainya yang terjadi baik karena sengaja ataupun tidak bias dikatakan merusak bahasa? Contoh nyata adalah bahasa sinetron yang sering diungkapkan oleh salah seorang aktris sinetron yang menjadi trend di masyarakat (cinta laura dll)."udah ujan,becek,gak ada ojek....", "kata mama aku, perfume itu wanginya gak longlasting. ..jadi mendingan kasi bracelet from platina". Bahasa sinetron yang cenderung tidak formal atau tidak baku menurut kaidah Pusat Bahasa ini masih menimbulkan kontroversi termasuk di kalangan pendidik ketika hendak diperkenalkannya di dalam kelas. Bahkan masih banyak guru yang berpendapat bahwa bahasa sinetron tidak beraturan dan tidak menunjukkan citra bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh alas an inilah sehingga para guru di Indonesia tidak memperkenalkan bahasa ini di dalam kelas. Walaupun ranah bahasa ini tidak diperkenalkan di dalam kelas secara formal, masyarakat dengan mudah memahaminya karena bahasa ini merupakan bahasa sehari-hari mereka. Mereka bisa mempelajari dari acara televisi yang lebih banyak bernuansa remaja. Karena bahasa sinetron tidak dimasukkan ke dalam kurikulum mustinya guru bisa memperkenalkan ranah ini secara proporsional sesuai dengan alokasi waktu dan minat para siswa. Yang perlu disampaikan kepada siswa adalah bahasa sinetron sangat mudah untuk dipelajari karena struktur morfologi dan kalimatnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan bahasa Indonesia baku. Kembali ke permasalahan gaya bahasa sinetron. Dari kasus terangkatnya nama Cinta Laura ini, kita bisa mengambil pelajaran lagi yakni tentang pentingnya diferensiasi. Di tengah makin banyaknya persaingan, adalah penting untuk memiliki sebuah diferensiasi yang unik. Dalam hal Cinta Laura ini, diferensiasinya terletak pada cara berbicaranya. Kalaupun banyak pihak yang menuduh bahwa bahasa sinetron bisa merusak generasi maka alangkah bijaknya jika sisi positifnya yang perlu dikembangkan. Bangsa Indonesia patut berbangga dengan kekayaan ragam bahasa yang begitu melimpah. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara dimana di dalamya terdapat beragam gaya, logat dan dialek daerah yang sedikit banyaknya berpengaruh terhadap gaya bahasa Indonesia itu sendiri. Mestinya hati kita mau terbuka menerima bahasa Indonesia yang kerap diucapkan oleh para pemain sinetron dilayar kaca dari sisi positif. Harus di akui bahwa mereka seadar ataupun tidak turut memegang peranan dalam menyumbang keragaman gaya bahaya Indonesia. Terlepas dari pendapat duta bahasa Indonesia bahwa gaya dan ucapan itu menjadi pemicu rusaknya jati diri bangsa masih membutuhkan penkajian yang lebih dalam.

Rabu, 04 Februari 2009

GOLPUT Vs. FATWA MUI.

Perhelatan kolosal yang diselenggarakan rutin dalam rentan waktu tertentu yang dikenal dengan nama pemilu merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari suatu kehidupan bermasyarakat yang demokratis. Suatu keniscayaan yang mesti ada dalam alam demokrasi seperti yang dianut oleh negara-negara demokrasi seperti halnya Indonesia. Terlebih jika kita merasa menjadi bagian dari suatu negara yang demokratis dan berkeinginan agar demokrasi di negara kita berjalan dengan baik dan semakin sempurna maka tak bisa dipungkiri bahwa pemilihan umum merupakan wahana yang penting kita ikuti. Begitu pentingnya yang namanya pemilu sampai-sampai rakyat dijejali tentang pentingnya pemilu seolah-olah “dipaksakan” untuk ikut serta menyukseskannya. Seakan-akan pemilu sesuatu yang "fardhu" (wajib) bagi rakyat ini, melebihi ibadah dan aktifitas sosial lainnya. Kita patut menghargai upaya pemerintah melalui corong MUInya untuk meningkatkan kesadaran berpolitik. Sekali lagi patut dihargai. Akan tetapi, fatwa haram golput bukan satu-satunya solusi dalam meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009 nanti. Ini akan menjadi sumber polemik dimasyarakat karena dalam konteks memilih sebagai hak fatwa mengharamkan golput tak perlu dikeluarkan oleh MUI. Dengan fatwa itu, memilih berubah dari hak menjadi kewajiban bagi warga negara. Dilain sisi harus diakui pula bahwa rendahnya partisipasi masyarakat berpengaruh pada legitimasi hasil pemilu. Untuk itu pemerintah tidak perlu segan-segan untuk menindak siapa saja yang menghalangi orang lain agar tidak mengikuti pemilu. Tindakan tegas ini terutama ditujukan kepada oknum yang dengan sengaja menghasut orang lain untuk melakukan hal yang sama. Namun, lagi-lagi menggunakan fatwa MUI sebagai senjata pamungkas adalah langkah yang kurang tepat. Fatwa MUI dalam masalah ini telah masuk kategori berlebihan. Dasar pengambilan hukum dan kekhawatiran MUI sebenarnya diantisipasi dalam sistem demokrasi sehingga tidak akan ada kekosongan pimpinan. Fatwa MUI itu menguliti kulit bukan substansi. Harus dipahami bahwa fatwa MUI bukan hukum positif yang mengikat publik termasuk umat Islam karena hanya bersifat imbauan atau pendapat kolektif ulama. MUI pun tak memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan publik. Fatwa haram MUI pada golput mengindikasikan adanya intervensi agama dalam urusan politik pemerintahan. MUI sebagai sebuah lembaga keagamaan seharusnya berfungsi mengatur hajat keyakinan seseorang, bukan untuk urusan politik pemerintahan. Terlebih lagi karena negara sendiri telah menunjukkan komitmennya untuk menekan angka golput. Hal itu telah diatur dalam UU tersendiri yang menegaskan akan adanya sanksi hukum bagi siapa saja yang menganjurkan sehingga tidak perlu di fatwakan. Berdasarkan UU nomor 2/2008 tentang partai politik juga ditegaskan, parpol berfungsi sebagai pendidikan politik, baik bagi anggotanya maupun masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya. Berdasarkan UU itulah mustinya parpol-parpol bisa meningkatkan kinerja partai mereka sehingga dengan sendirinya mampu meningkatkan partisipasi masyarakat. Inilah solusi yang paling efektif ketimbang menggunakan MUI dengan fatwa haramnya. Parpol mustinya memberikan aksi nyata sehingga masyarakat secara langsung bias merasakan manfaat dari suara dan dukungan yang mereka berikan kepada partai politik dalam pemilu. Tentu saja kinerja parpol perlu ditingkatkan dan menekan sekecil mungkin peluang terjadinya kasus korupsi dan skandal moral yang terjadi dikalangan anggota dewan yang berperan besar menurunkan kepercayaan publik kepada integritas moral partai politik. Jadi pada intinya kinerja partailah yang perlu ditingkatkan bukan dengan fatwa haram golput. Hal ini bukan menjadi alasan pula untuk menkampanyekan golput karena hal tersebut bersifat fatal dan merusan pendidikan politik masyarakat. Golput dapat merusak konsolidasi demokrasi yang dibangun dan memancing munculnya mimpi pada pemimpin dictator. Kampanye golput adalah cara yang terlalu ekstrim dalam menghukum partai politik. Tetapi fatwa haram juga bukan solusi yang bijak. Golput dan fatwa haram sama-sama ekstrim. Dua-duanya tidak produktif dalam pembangunan demokrasi.