Jumat, 26 Desember 2008

WASPADA WABAH PENYAKIT MENGANCAM KITA

Akhir dan awal tahun biasanya ditandai dengan datangnya musim hujan.Hujan deras yang terus mengguyur sebagian besar wilayah di Indonesia termasuk di kota makassar selama beberapa pekan terakhir ini menyebabkan banjir yang makin meluas di beberapa titik yang memang rawan terhadap banjir. Dampak banjir bukan hanya menyebabkan kerugian harta tetapi juga membawa bibit penyakit. Pada kenyataannya, baik langsung maupun tidak langsung, pergantian musim kemarau ke musim hujan (pancaroba) berdampak pada kesehatan. Berbagai penyakit bisa muncul di pergantian musim ini yang mustinya masyarakat waspadai.. Penyakit yang bisa muncul di musim pancaroba sekarang ini bisa berupa demam Berdarah,diare, Leptospirosis, ataupun ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Penyakit-penyakit yang kerap kali menjangkit di musim hujan itu perlu diketahui oleh masyarakat baik ciri, atau gejala penyakit itu, bahaya yang ditimbulkan, pencegahan dan cara penanggulangannya. Diare. Perilaku kebersihan dan sanitasi yang buruk menjadi penyebab penyakit diare. Selain air yang terkontaminasi, kebiasaan buruk seperti tidak mencuci tangan menggunakan sabun membuat kuman mudah masuk ke tubuh manusia. Masyarakat di kota besar seperti makasasar belum memiliki sarana sanitasi yang baik sehingga jika musim hujan tiba kotoran dan bibit penyakit yang ada di tanah akan terbawa oleh air hujan masuk ke dalam sumur penduduk. Influenza. Anak-anak berusia balita merupakan golongan yang paling rentan terkena influenza. Masa inkubasi-waktu dari paparan virus sampai timbul gejala- influenza sangat cepat, hanya tiga sampai tujuh hari. Gejalanya berupa nyeri kepala, demam, menggigil, nyeri otot, lemas, hingga kejang. Peningkatan suhu badan dapat terjadi dalam 12-24 jam. Dapat juga muncul bersin dan batuk tidak berdahak. Faktor pemicunya antara lain udara dingin dan turunnya kekebalan tubuh, terutama pada bayi di bawah satu tahun dan orang usia lanjut. Bila terserang influenza, mereka berisiko terkena ISPA, termasuk radang paru. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menghindari hujan-hujanan, menghindari kontak dengan penderita serta menjaga daya tahan tubuh. Leptospirosis Penyakit yang termasuk penyakit mematikan ini disebabkan oleh bakteri leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia. Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung, landak, kelelawar dan tupai. Namun diduga penularannya lebih banyak melalui air kencing tikus, meski tidak semua tikus mengandung bakteri tersebut. Gejala awal yang perlu dicurigai antara lain, demam tinggi, nyeri otot di betis, serta pusing-pusing. Jika tidak ditangani segera, pasien yang terkena bakteri leptospira ini bisa terkena gagal ginjal serta penyakit kuning. Demam Berdarah. Meski wabah penyakit ini selalu muncul berulang setiap tahunnya, namun tetap saja banyak orang yang terkena, bahkan hingga meninggal dunia. Virus yang berasal dari gigitan nyamuk Aedes aegypti memang tidak bisa dianggap remeh, empat-lima hari pasca gigitan, gejala demam berdarah sudah muncul. Gejala awal penyakit ini mirip dengan flu. Biasanya dimulai dengan panas tinggi selama 2 sampai 7 hari, diikuti dengan badan lesu dan lemah, tidak nafsu makan, nyeri pada ulu hati, mual dan muntah. Kadang disertai dengan mencret dan nyeri otot. Tampak bintik-bintik merah pada kulit. Bila sudah parah, penderita gelisah. Tangan dan kakinya dingin dan berkeringat. Pencegahan penyakit ini bisa dilakukan dengan membasmi nyamuk dengan obat semprot, memakai kelambu saat tidur serta memutus rantai perkembangbiakan nyamuk dengan cara 3M (menguras, menutup dan mengubur). Bagaimana masyarakat harus menyikapi semua hal di atas? Untuk meminimalkan dampak kesehatan di atas, diperlukan partisipasi aktif masyarakat. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kebersihan perorangan dan anggota keluarga masing-masing, seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan minum dan memasak air yang akan dikonsumsi. Selain itu, memperhatikan jajanan, terutama yang dijajakan keliling untuk anak-anak. menghindari daerah yang berdebu, terutama tempat bermain anak-anak merupakan tindakan yang cukup efektif.selain itu meningkatkan daya tahan tubuh seperti mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang, banyak makan sayuran dan buah-buahan; serta secara rutin melakukan pembersihan sarang nyamuk(PSN). Selain masyarakat petugas kesehatanpun perlu meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup sehat. Selain itu, meningkatkan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat dengan mempersiapkan kebutuhan logistik dan obat-obatan yang cukup. Mencermati kasus-kasus dengan gejala panas, terutama kasus yang berasal dari satu daerah yang sama, misalnya dari RT yang sama, dari sekolah yang sama, atau dari keluarga yang sama. Di samping itu, petugas kesehatan mustinya sering turun ke lapangan untuk mengumpulkan informasi terkait dengan masalah kesehatan dan segera mengambil langkah antisipasi dengan melibatkan masyarakat setempat. Pada situasi pancaroba ini Departemen Kesehatan semestinya berkoordinasi dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) untuk memonitor perkembangan tentang cuaca termasuk curah hujan. Selain itu, memastikan kepada seluruh jajaran kesehatan, baik di Unit Pelaksana Teknis (UPT) maupun Dinas Kesehatan Provinsi di seluruh Indonesia, tentang kesiapsiagaan menghadapi masalah kesehatan yang muncul akibat pancaroba. Depkes juga menyiapkan Tim Gerak Cepat di seluruh wilayah Indonesia, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, dan meningkatkan kesiapan Posko Bencana diseluruh wilayah regional. Karena dampak buruk hujan bagi kesehatan, sungguh masuk akal jika di masyarakat kita berkembang pepatah sangat terkenal yang berbunyi "sedia payung sebelum hujan". Dalam arti yang luas, pepatah ini sebenarnya juga mengingatkan kita semua agar lebih preventif menghadapi kondisi yang mungkin muncul suatu saat dan tanpa di duga-duga dimusim hujan ini. Dengan persiapan matang seperti inilah keluarga kita akan terjaga dari seranan penyakit dimusim hujan ini. BY.abdul

Jumat, 19 Desember 2008

UU BHP bukan momok bagi mahasiswa

UU BHP BUKAN MOMOK BAGI MAHASISWA Ada pertanyaan yang selalu menggelitik di pikiran orang-orang awam seperti saya. Sebenarnya apa dan bagaimana isi dari UU BHP sehingga mendapat tantangan yang begitu keras oleh rekan-rekan mahasiswa namun di pihak lain didukung oleh pemerintah (dan mungkin juga birokrasi kampus) di pihak lain. Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) akhirnya disahkan menjadi UU dalam Paripurna DPR-RI pada tanggal 17 desember 2008 yang tentunya di warnai aksi demonstrasi mahasiswa Univeritas Indonesia dan beberapa mahasiswa di daerah lain termasuk di Makassar (mahasiswa Unhas) yang menolak disahkannya UU. Bagi mereka yang kontra dengan UU BHP mereka khawatir kalau undang-undang baru ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Padahal mustinya kita sebagai mahasiswa yang nota bede akan bersinggungan langsung dengan kebijakan itu mustinya dengan pikiran jernih membaca dan menkaji dulu draf terakhir yang disepakati pada 10 Desember 2008 seperti dalam Pasal 4 ayat 1 yang menjadi pangkal persoalan. Pasal tersebut berbunyi “Dalam pengelolaan dana secara mandiri, BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP,maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.” Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di atas bagi kelompok yang kontra menilai melanggar Undang-Undang Dasar 1945 karena di anggap tidak menyediakan pendidikan gratis yang bisa diakses oleh seluruh rakyat, terutama bagi golongan miskin. Banyak pula yang mengatakan bahwa dalam RUU BHP, pemerintah hanya campur dalam manajerial, tetapi terkesan lepas tangan untuk pendanaan. Pemerintah dianggap tidak memberikan kesempatan kepada siswa miskin untuk belajar di yayasan swasta sehingga undang-undang tersebut juga berpengaruh pada kualitas hubungan murid-guru yang nantinya tereduksi menjadi hubungan konsumen dan penyedia jasa belaka. Padahal pada Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 46 RUU BHP telah menegaskan bahwa mahasiswa membayar biaya pendidikan tidak boleh lebih dari sepertiga dari biaya operasional.Tetap 20 Persen Meski krisis keuangan dunia berimbas ke perekonomian nasional, pemerintah berkomitmen untuk tetap menggelontorkan alokasi 20 persen untuk pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009. Di dalamnya ada alokasi untuk menyejahterakan para guru. Hal tersebut pernah ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Peringatan Puncak Hari Guru Nasional 2008 dan HUT PGRI ke-63 di Senayan. Presiden mengatakan bahwa mulai tahun depan sektor pendidikan akan menerima alokasi anggaran yang cukup besar yang di dalamnya terdapat alokasi untuk kesejahteraan guru. Perlu dimengerti bahwa RUU BHP tidak mengaburkan peran negara dalam hal pendanaan pendidikan. Pada tingkat perguruan tinggi masyarakat miskin tidak semakin sulit mengakses karena alasan biaya pendidikan yang semakin mahal. Dalam draf terbaru disebutkan bahwa khusus pendidikan di sekolah-sekolah negeri, negara menjamin dua per tiga dana untuk biaya pendidikan, sedangkan dari siswa atau mahasiswa hanya menanggung sepertiga. Ketakutan lainnya yang mengemuka mengatakan bahwa pemerintah hanya membantu pendanaan untuk sekolah negeri, sekolah swasta tidak ditanggung. Jika hal ini terjadi, maka hak anak Indonesia untuk masa depan menjadi terancam. Pemerintah benar-benar tidak memberikan kesempatan kepada siswa miskin di yayasan swasta. Selain membatasi rakyat miskin untuk mengakses pendidikan, juga menunjukkan pemerintah melupakan nilai sejarah Indonesia. Semua ketakutan-letakutan ini hanyalah bentuk ketakutan yang masih belum bisa dibuktikan. Ini karena pengesahan UU BHP bukan berarti pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya yang diamanatkan konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena UU itu diatur bahwa peserta didik diwajibkan membayar 1/3 dari biaya operasional yang seharusnya ditanggung oleh institusi pendidikan. UU BHP pada implementasinya memicu persaingan tinggi di antara lembaga pendidikan. Penolakan terhadap BHP menurut penulis akibat belum dipahaminya semangat dan substansi pasal demi pasal UU BHP. Jika kita mengacu pada UU BHP seharusnya biaya semakin murah, karena ada batasan pungutan kepada masyarakat yaitu paling banyak sekitar 33 persen biaya operasional. Dengan ini sebuah perguruan tinggi justru akan menjadi mandiri mencari sumber dana dan tak hanya mengandalkan subsidi pemerintah. Untuk itu, alangkah bijaknya jika kita melihat pengesahan UU BHP bukan sebagai kado buruk pendidikan tetapi merupakan momen yang sangat tepat untuk merangsang dan mendorong kita untuk bangun dari keterlenaan selama ini. by: hai_boy80@yahoo.co.id

Jumat, 12 Desember 2008

FENOMEN BULLYING DAN KECERDASAN EMOSIONAL

Pada suatu sore seorang rekan yang sementara menempuh pendidikan di sebuah sekolah tinggi kesehatan datang ketempat saya. Rekan saya itu bermaksud meminta komentar dan pendapat saya mengenai pengalaman yang dialaminya dikampusnya beberapa hari yang lalu. Sebagai rekan yang baik, saya mencoba menempatkan diri saya pada posisi “pendengar” yang efektif layaknya seorang konselor atau psikolog dengan kliennya. Rekan saya itu mulai menceritakan kronologis ketegangan yang dialaminya bersama rekan-rekannya yang lain. Lagi-lagi dosen vs mahasiswa dimana seorang dosen selalu berdiri pada posisi “Penguasa” dan “serba benar”. Dosen tersebut memperlihatkan sikap emosional didepan mahasiswanya karena kesalapahaman belaka. Dosen tersebut tetap ngotot memberikan kuliah praktek sementara para mahasiswa menolak dengan alasan bahwa jadwal hari itu adalah kuliah teori. Terlebih lagi para mahasiswa tidak memdapat pemberitahuan sebelumnya bahwa hari itu mereka ada ujian praktek. Sikap emosional oknum dosen semakin tidak terkendali dan kerap kali meledak meski hanya hal-hal sepele (tak perlu dikemukakan secara rinci). Setelah mendengar dan menyimak saya spontan bertanya kepada saya tersebut. Berapa umur dosen itu. Ternyata dugaan saya tidak salah. Menurut pengalaman pribadi saya kerap melihat oknum dosen yang memperlihatkan “emosi yang prematur” karena faktor umur yang memang masih labil dan gamang. Dosen tersebut (28 tahun) belum bisa menempatkan dirinya pada posisi sebagai layaknya seorang dosen yang secara hirarki berbeda dengan mahasiswa-mahasiwanya.. Sifat-sifat kekanakannya masih begitu kental mungkin karena masih dalam fase peralihan dari remaja menuju fase dewasa awal. Terlebih lagi kalau ruang pergaulan oknum dosen tersebut masih secara aktif terlibat secara fisik dan emosional dengan orang-orang yang seumuran dengan para mahasiswanya itu. Pengalaman yang dialami oleh rekan saya itu tak jauh beda dengan apa yang saya alami di kampus sendiri. Ada seorang oknum dosen muda yang secara intelektual cukup handal. Hal ini bisa dilihat dengan titel S2 yang diperoleh dari luar negeri. Tak jarang setiap saya ingin melakukan bimbingan akademik ataupun skripsi perlakuan yang tak mengenakkan sering saya alami. Sikap yang tidak ramah, membuang muka setiap bertatap muka, sok dewasa, anti dengan kritik dan masukan, dan tidak memahami pentingnya hubungan harmonis antara dosen dan mahasiswa. Semua pengalaman ini saya alami sendiri. Terkait hubungan antara mahasiswa dan dosen dapat dilihat Fakta dilapangan yangmenunjukkan bahwa dalam beberapa semester berlalu hampir 40% mahasiswa tidak mengenal dosen PA-nya, dan hampir 100% dosen tidak mengenal semua mahasiswa bimbingannya berkaitan dengan kedudukannya sebagai dosen PA. Mengapa hal ini terjadi? Dugaan sebagai jawaban sementara adalah bahwa mahasiswa tidak memiliki motivasi yang kuat untuk mengenal dosen PA-nya. Dosen PA kurang memahami tanggung jawabnya sebagai dosen PA, sehingga kurang memberikan perhatian yang serius terhadap tugas-tugas seorang dosen PA. Mengapa ini terjadi? Prediksi jawabannya adalah bahwa mahasiswa tidak memahami tugas dan tanggung jawab dosen PA-nya yang sesungguhnya menjadi haknya untuk dia dapatkan. Mengapa ini terjadi? Lagi-lagi prediksi jawabannya adalah kegagalan sosialisasi peraturan akademik dan kemahasiswaan, baik bagi dosen, maupun bagi mahasiswa yang menurut saya adalah cikal bakal utama timbulnya kasus bullying Ternyata kalau kita mau jujur mengakui bahwa fenomena bullying ternyata bisa terjadi dimana dan kapan saja. Beberapa waktu yang lalu perhatian kita tersedot pada kasus bullying di televise dengan gank nero sebagai pemeran utamanya. Perilaku agresif dari seseorang yang disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri merupakan tindakan bullying. Terlepas apakah tindakan oknum dosen dalam interaksi dengan mahasiswa merupakan tindakan yang bisa di kategorikan bullying atau tidak dapat dilihat dari pengklafisikasian bullying itu sendiri. Ada 5 kategori perilaku bullying tersebut,yaitu: 1.Kontak Fisik Langsung.Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. 2.Kontak Verbal Langsung. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip. 3.Perilaku non-verbal langsung. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal. 4. Perilaku non-verbal tidaklangsung. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng. 5. Pelecehan seksual. Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah perilaku-perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik dan bisa juga verbal. Selalu muncul pertanyaan dalam benak kita. Sebenarnya mengapa tindakan tersebut kerap terjadi dan apa dampak yang paling besar yang bisa dirasakan oleh pihak penderita dalam hal ini mahasiswa sebagai anak didik. Yang pasti dampak secara fisik dan psikologi pastilah sangat membekas di hati para anak didik itu sendiri. Bullying mungkin merupakan bentuk agresivitas yang memiliki akibat paling negatif bagi korbannya (anak didik/mahasiswa). Hal tersebut disebabkan karena dalam peristiwa bullying terjadi ketidakseimbangan kekuasaan dimana para pelaku (pendidik/dosen) memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa tidak berdaya untuk melawan mereka. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa korban bullying akan cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being), penyesuaian sosial yang buruk, gangguan psikologis, dan kesehatan yang memburuk (Rigby, dalam Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005). Korban bullying juga bisa mengalami penyesuaian sosial yang buruk sehingga ia terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah, selalu merasa kesepian, dan sering membolos sekolah. Apabila kita melihat lebih jauh lagi maka korban bullying juga dapat memancing timbulnya gangguan psikologis rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Bullying ternyata tidak hanya menimbulkan dampak negatif dalam segi psikologis, namun juga dari segi fisik. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menyebutkan bahwa salah satu dampak dari bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bagi para korban bullying yang mengalami perilaku agresif langsung juga mungkin mengalamin luka-luka pada fisik mereka. Melihat fenomena yang terkesan diabaian ini, masihkan kita membiarkan karakter-karakter para anak didik menjadi rapuh karena ketidak matangan psikologi dan kejiwaan seorang pendidik sebagai suatu bentuk kecerdasan emosional yang masih perlu diasah. Semuanya kini kembali kepada kita semua.

Selasa, 09 Desember 2008

CALEG TRANSGENDER.

Pasal 57 dan 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum secara tegas menyebutkan bahwa partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) harus memenuhi sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan dalam mengajukan calon anggota legislatif (caleg) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penerapan kuota 30 persen ini bukannya tak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berkata itu baik bagi perempuan, sebaliknya ada pula yang menganggap kuota sebagai bentuk pembatasan bagi perempuan. Padahal, jika dicermati secara kritis, penerapan kuota itu sebagai affirmative action juga masih setengah hati. Kita bias melihat fakta dilapangan bahwa penerapan kuota tersebut tidak secara signifkan berpihak kepada kaum perempuan. Apakah karena factor perempuannya yang tak bisa menggunakan peluang yang ada atau karena faktor yang lain. Sungguh, melihat fakta tersebut kita akan menuju pada satu kesimpulan yang sama kalau hal itu adalah suatu hal yang Kontra produktif . Ada kesalahan terbesar yang nampak dalam sistem berbasis gender atau tanggap gender yang salah dalam memandang suatu masalah. Masalah perempuan tidak mungkin disikapi sebagai masalah berbau gender semata. Ini adalah pangkal kesalahan nalar kita semua sebab setiap persoalan umat manusia apapun persoalannya menimpa perempuan atau laki-laki merupakan tanggung jawab seluruh manusia yang ada di bumi ini, baik perempuan atau laki-laki. Apapun persoalannya apakah masalah keterpurukan kaum perempuan, kemiskinan atau kekurangan pendidikan, seharusnya senantiasa di pandang dalam skala global. Tak heran dengan kesalahan memandang masalah secara individual dalam sistem yang menerapkan suara mayoritas menyebabkan sampai detik ini, penyelesaian persoalan perempuan menjadi tidak tuntas ke akar masalah. Selain belum tentu kuantitas di imbangi kualitas, bahkan yang terjadi justru banyak sekali pemasungan hak politik perempuan dalam sistem di atas. Inilah sebenarnya yang harus dipahami oleh para perempuan, bahwa sistem suara mayoritas adalah teori yang berbahaya terhadap keberlangsungan kebebasan individu. dengan penentuan suara mayoritas, maka yang dilihat hanyalah kuantitas perempuan yang bersuara, bukan kruasialnya sebuah masalah yang tengah dihadapi oleh perempuan itu sendiri. Contoh nyata yang bias kita lihat adalah saat kita dipinpin oleh presiden perempuan. Sebagai sebuah kedudukan politik yang stategis dan efektif seharusnya beliau mampu menyelesaikan masalah perempuan secara praktis. Ternyata, jangankan persoalan perempuan dapat terpecahkan, malah kebijakan yang dibuatnya seperti menaikkan harga BBM, TDL, dan sebagainya memberi andil semakin terpuruknya perempuan. Kaum perempuanlah yang merasakan dampak kenaikan tersebut secara langsung. Wajar dalam aksi demo menentang kebijakan ini, nampak beribu perempuan tetap mengugat kebijakan sesama perempuan tersebut. Sudah semestinya jika suatu perjuangan bukanlah gerakan eksklusif atas nama gender. Karena ketika terjadi penekanan perjuangan perempuan mandiri berarti kita sudah mengadakan pengkotak-kotakan. Misalnya saja dengan membeda-bedakan ini adalah persoalan laki-laki, dan ini perempuan. Wajar jika akan terjadi banyak diskriminasi terhadap perempuan, karena perempuan hanya membaur dengan komunitas dan persoalan perempuan sendiri. Tentu ini beban yang sangat berat bagi perempuan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri, padahal persoalan tersebut timbul bukan dari perbuatan perempuan. Pemahaman menyangkut kesetaraan dan keadilan gender, harus terus diluaskan, khususnya oleh kaum muda yang memiliki kapasitas untuk menjadi tulang punggung perubahan politik sekaligus elemen kunci perluasan kesadaran gender (gender mainstraiming) karena Gender mainstraiming tidak sekedar berupa kesetaraan formal di dunia politik, professional, maupun akademik. Dengan kekuatan yang sudah dimiliki oleh kaum trasgender dalam dunia politik, modal dan masyarakat tak ada salahnya kaum transgender itu terlibat langsung dalam mewakili suara masyarakat. Dengan eksistensi mereka dalam berbagai karya nyata yang dianggap sebagai kontribusi bagi kemajuan masyarakat hal tersebut bukanlah mimpi belaka. Karena sesungguhnya sebuah karya akan memperoleh penilaian obyektif di masyarakat manusia tidak lagi terpilah pilah, berdasarkan jenis kelaminnya atau berdasarkan orientasi seksualnya, sudah banyak contoh di republik tercinta ini. Kaum transgender juga memiliki kepedulian pada isue lain dengan melakukan komunikasi dan interaksi yang massif dengan masyarakat, terutama dengan menunjukkan kepedulian sosial pada kasus-kasus besar atau kecil yang dialami oleh masyarakat secara umum. Seorang transgender secara umum juga memiliki keluwesan dalam bergaul karena disadari bahwa modal sosial terletak di masyarakat, dalam memasok kesadaran baru kepada masyarakat. Kesimpulannya, masyarakat kini musti dengan hati terbuka untuk melihat dan memaknai semua fakta yang ada secara seimbang dan adil berdasarkan fakta bukan sekedar mitos dan stereotype belaka. Kuota 30 % perempuan bisa saja ditempati oleh orang-orang transgender. Masyarakat mustinya mulai menyadari bahwa teriakan aspirasi dan kebenaran tidak tersekat oleh perbedaan gender dan strata sosial kemasyarakatan belaka. Transgender dengan segala kelebihan dan kekurangannya di harapkan bisa menjawab permasalahan masyarakat yang selama ini hanya mengendap jadi perdebatan yang tidak berkesudahan. Tinggal menunggu secuil kepercayaan dari masyarakat sebagai pemilik suara dalam pemilihan calon legislative nanti.

Sabtu, 06 Desember 2008

MELAWAN HEGEMONI DENGAN FILM

Malam itu waktu telah menunjukkan pukul 18:30 wita. Sesuai jadwal yang tertera di undangan panitia, Semestinya film-film segera diputar. Ruangan terbuka di salah satu bagian gedung Bakti yang berisi kursi-kursi masih terlihat sepi oleh undangan. Hanya beberapa orang panitia yang tampak sibuk mempersiapkan acara nonton bareng malam itu. Termasuk seorang transgender yang siap-siap berdandan yang malam itu akan menjadi ikon acara nonton bareng yang digagas oleh komunitas sehati bekerja sama dengan Bakti. Tak berapa lama kemudian suasana menjadi semarak. Satu persatu undangan mulai berdatangan mengisi kursi-kursi yang telah dipersiapkan oleh pihak panitia. Selain dari komunitas sehati sendiri, tampak pula beberapa undangan dari lembaga advokasi perempuan. Film-film itupun satu persatu mulai ditayangkan melalui layer LCD. Dimalam pertama ada tiga film yakni film yang berjudul perempuan punya cerita, only god knows dan bend it. Film yang berjudul perempuan punya cerita menceritakan kisah empat perempuan dengan kisah dan problem berbeda. Kisah pulau yang menceritakan dilema yang dialami oleh seorang bidan yang mempertaruhkan profesinya kebidanannya antara kemanusiaan dan hukum pidana yang siap menjerat karena praktek aborsi yang dilakukannya pada seorang gadis idiot yang hamil karena pemerkosaan (kehamilan yang tak diinginkan dan beresiko tinggi). Kisah lain tentang seorang ibu yang anaknya dijual oleh sahabatnya sendiri (trafficking anak), ada pula kisah pergaulan bebas remaja dengan settting kota Jogjakarta yang terkenal sebagai kota pelajar. Dan terakhir adalah kisah seorang perempuan yang mengidap HIV/AIDS. Kisah-kisah yang mengangkat issue HAM, Perempuan & Trafficking serta HIV/AIDS tersebut benar-benar menggugah hati para penonton yang sempat datang malam itu. Film yang lain malam itu adalah only god knows dan bend it masih bertemakan kaum marjinal yakni fenomena lesbian. Pada malam kedua ada dua film yang sempat diputar yakni film dengan judul dua sisi dan film yang berjudul opera tikus got. Kali ini film yang berjudul dua sisi bertemakan sisi kehidupan kaum waria yang menyorot pada dua sisi yang benar-benar berbeda. Penonton diajak melihat secara dekat bagaimana kehidupan dan pola perilaku sehari-hari dari kaum komunitas bissu yang ada dikabupaten pangkep Sulsel. Sisi kehidupan waria yang tetap memperlihatkan sisi maskulin, mandiri, berwibawa dan mempunyai peranan yang cukup urgen dalam strata kehidupan masyarakat. Disisi lain diperlihatkan corak dan warna kehidupan kaum waria ibukota yang berkecimpung dalam dunia gemerlap, dunia malam, yang selalu identik dengan kehidupan hura-hura. Benar-benar dua sisi yang sekilas terlihat bertolak belakang satu dengan lainnya. Satu hal yang pasti adalah adanya kesamaan antara kedua komunitas berbeda itu. Yakni kecenderungan berdandang layaknya perempuan dalam mempersiapakan diri menghadapi suatu event atau perayaan. Sementara itu film yang berjudul opera tikus got menceritakan potret kehidupan masyarakat bawah yang dekat dengan kemiskinan, kekumuhan, dan rawannya tindak diskriminasi yang berujung pada tindak pembunuhan dan pelecehan seksual. Dari nonton bareng itu tampak bahwa film ternyata bisa menghasilkan stereotipe yang kontribusinya cukup besar dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi terhadap kaum marjinal (LGBT), dari sini muncul suatu harapan adanya pemahaman yang baik akan kaum marjinal yang selama ini menjadi sosok terpinggirkan, selalu terlecehkan, dan dianggap sebagai perusak tatanan tradisi dan adat yang sudah baku. Fakta menunjukkan bahwa seringkali suatu stereotipe kerap lahir dari kalangan kelompok dominan yang merupakan citra yang kaku dan baku dimana masyarakat hanya menerima dan mengaggap bahwa itulah yang benar. Tak salah kiranya bila komunitas sehati memanfaatkan media film sebagai alat ideologis melawan stereotype media yang selama ini didominasi oleh kaum dominan. Dengan filmlah ideologi “kemapanan” yang selama ini disangka alami terlihat kalau itu hanyalah hasil hegemoni yang dikontruksi oleh masyarakat.

Jumat, 05 Desember 2008

MENYERAP NILAI-NILAI POSITIF DARI IBADAH KURBAN DALAM KEHIDUPAN AKADEMIK

Hari senin lusa menjadi momen yang sangat istimewa khususnya buat kaum muslimin. Perayaan idul adha yang selalu identik dengan pemotongan binatang kurban. Penggunaan istilah ibadah kurban atau idul kurban menjadi menarik karena istilah ini hanya digunakan di Indonesia saja. Istilah agama yang baku adalah Idul Adha atau ibadah udhiyyah. Kata kurban (atau korban) adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ketika diadaptasi ke bahasa Indonesia kurang lebih memiliki arti “rela atau bersedia melakukan sesuatu tanpa pamrih apapun.” Secara harfiyah, kata kurban berasal dari kata qaraba-yaqrubu-qurbaanan, yang artinya dekat atau mendekatkan diri. Orang yang berkurban adalah orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT sekaligus mendekatkan dirinya kepada sesama. Ritual luarnya memang hewan kurban, namun kandungan isinya ialah ketakwaan keteladanan yang menjadi hakekat dari ibadah kurban. Iedul Qurban, adalah satu dari sekian ibadah yang menguji sekaligus mendidik semangat pengorbanan dan semangat pembebasan kepada kita. Takut kehilangan, itulah sifat yang menghalangi seseorang untuk berbuat baik dan yang mendorong kita untuk berbuat jahat. Sejarah telah mencatat, ketakutan akan kehilangan yang berulang-ulang telah menyebabkan berbagai tragedi kemanusiaan, dan akan lebih mengerikan jika sifat tersebut menjangkiti para mahasiswa yang kelak diharapkan menjadi pemimpin dalam lingkungannya, baik secara individu maupun kolektif. Ketidakakraban kita sebagai mahasiswa dengan nilai-nilai agama dewasa ini mendorong lahirnya humanisme sekuler dan pandangan hidup yang hedonis materialistik. Pemutlakan nilai-nilai kebenaran, dan kepentingan versi manusia serta penisbian terhadap agama menjadi bagian dari paham dan pandangan tersebut.. Absolutisme ini acapkali diterapkan dalam praksis kehidupan akademik bahkan sampai social,ekonomi,politik dan sebagainya. Takwa atau ketakwaan itu bukanlah nilai yang pasif dan doktriner, tetapi dinamis dan fungsional. Artinya, ketika seorang merasa diri bertakwa maka ketakwaan itu haruslah aktual atau ditransformasikan dalam kehidupan akademik sehingga melahirkan nilai lebih dan kemanfaatan yang bersifat mencerahkan kehidupan. Kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa kesan. Mahasiswa sebagai simbol masyarakat akademik pada suatu perguruan tinggi senantiasa menjadi tolok ukur penilaian bagi stakeholder terhadap kualitas diri dan almamaternya. Kualitas dirinya menjadi refleksi bagi kualitas alamamaternya. Oleh karena itu, mahasiswa senantiasa dituntut kemampuannya untuk menampilkan kompetensi dirinya ke arah pencapaian visi almamaternya meski harapan tersebut tidaklah begitu mudah untuk dicapai karena mahasiswa sebagai pribadi hanyalah salah satu dari sejumlah komponen. Salah satu tanggung jawab mahasiswa adalah menjaga martabat diri dan almamaternya aktivitas akademik dan non akademik dengan bersungguh-sunguh menurut peraturan akademik dan kemahasiswaan yang ditetapkan oleh alamaternya. Sejatinya, makna ibadah qurban adalah kerelaan untuk berbagi nikmat dengan sesama melalui hewan yang disembelih dengan tujuan untuk meningkatkan kedekatan sosio-psikologis dengan sesama mahasiswa, dosen dan perangkat akademik yang lain terlebih lagi kedekatan vertikal dengan pencipta.. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan dapat mencapai kualitas diri yang prima, baik untuk kepentingan diri dan keluarganya, ilmu pengetahuan, alamamaternya, masyarakat, bangsa, maupun untuk kepentingan negaranya Jelas sekali bahwa mahasiswa berhubungan erat sekali dengan keteladanan. Akhirnya, proses penyerapan nilai-nilai positif kurban penting bagi penegasan fungsi dan peranan mahasiswa sebagai simbol masyarakat akademik pada suatu perguruan tinggi