Jumat, 06 Februari 2009

BAHASA SINETRON.

Makalah dengan judul, “ Bahasa Sinetron Sebagai Pemicu Rusaknya Jati Diri Bangsa” telah mengantar widyaningrum dan dinar agra duandi sebagai dua bahasa Indonesia 2008. namun, makalah dan opini mereka tersebut sempat menggelitik benak saya. Muncul berbagai pertanyaan sebagai bantahan atau opini tandingan buat mereka berdua. Apakah dalam berbahasa ada gaya dan ucapan tertentu yang bias dikategorikan bahasa terebut salah atau benar. Yang mana itu? Apakah ucapan yang patah-patah, cadel, sengau, nyaring, lembut dan sebagainya yang terjadi baik karena sengaja ataupun tidak bias dikatakan merusak bahasa? Contoh nyata adalah bahasa sinetron yang sering diungkapkan oleh salah seorang aktris sinetron yang menjadi trend di masyarakat (cinta laura dll)."udah ujan,becek,gak ada ojek....", "kata mama aku, perfume itu wanginya gak longlasting. ..jadi mendingan kasi bracelet from platina". Bahasa sinetron yang cenderung tidak formal atau tidak baku menurut kaidah Pusat Bahasa ini masih menimbulkan kontroversi termasuk di kalangan pendidik ketika hendak diperkenalkannya di dalam kelas. Bahkan masih banyak guru yang berpendapat bahwa bahasa sinetron tidak beraturan dan tidak menunjukkan citra bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh alas an inilah sehingga para guru di Indonesia tidak memperkenalkan bahasa ini di dalam kelas. Walaupun ranah bahasa ini tidak diperkenalkan di dalam kelas secara formal, masyarakat dengan mudah memahaminya karena bahasa ini merupakan bahasa sehari-hari mereka. Mereka bisa mempelajari dari acara televisi yang lebih banyak bernuansa remaja. Karena bahasa sinetron tidak dimasukkan ke dalam kurikulum mustinya guru bisa memperkenalkan ranah ini secara proporsional sesuai dengan alokasi waktu dan minat para siswa. Yang perlu disampaikan kepada siswa adalah bahasa sinetron sangat mudah untuk dipelajari karena struktur morfologi dan kalimatnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan bahasa Indonesia baku. Kembali ke permasalahan gaya bahasa sinetron. Dari kasus terangkatnya nama Cinta Laura ini, kita bisa mengambil pelajaran lagi yakni tentang pentingnya diferensiasi. Di tengah makin banyaknya persaingan, adalah penting untuk memiliki sebuah diferensiasi yang unik. Dalam hal Cinta Laura ini, diferensiasinya terletak pada cara berbicaranya. Kalaupun banyak pihak yang menuduh bahwa bahasa sinetron bisa merusak generasi maka alangkah bijaknya jika sisi positifnya yang perlu dikembangkan. Bangsa Indonesia patut berbangga dengan kekayaan ragam bahasa yang begitu melimpah. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara dimana di dalamya terdapat beragam gaya, logat dan dialek daerah yang sedikit banyaknya berpengaruh terhadap gaya bahasa Indonesia itu sendiri. Mestinya hati kita mau terbuka menerima bahasa Indonesia yang kerap diucapkan oleh para pemain sinetron dilayar kaca dari sisi positif. Harus di akui bahwa mereka seadar ataupun tidak turut memegang peranan dalam menyumbang keragaman gaya bahaya Indonesia. Terlepas dari pendapat duta bahasa Indonesia bahwa gaya dan ucapan itu menjadi pemicu rusaknya jati diri bangsa masih membutuhkan penkajian yang lebih dalam.

Rabu, 04 Februari 2009

GOLPUT Vs. FATWA MUI.

Perhelatan kolosal yang diselenggarakan rutin dalam rentan waktu tertentu yang dikenal dengan nama pemilu merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari suatu kehidupan bermasyarakat yang demokratis. Suatu keniscayaan yang mesti ada dalam alam demokrasi seperti yang dianut oleh negara-negara demokrasi seperti halnya Indonesia. Terlebih jika kita merasa menjadi bagian dari suatu negara yang demokratis dan berkeinginan agar demokrasi di negara kita berjalan dengan baik dan semakin sempurna maka tak bisa dipungkiri bahwa pemilihan umum merupakan wahana yang penting kita ikuti. Begitu pentingnya yang namanya pemilu sampai-sampai rakyat dijejali tentang pentingnya pemilu seolah-olah “dipaksakan” untuk ikut serta menyukseskannya. Seakan-akan pemilu sesuatu yang "fardhu" (wajib) bagi rakyat ini, melebihi ibadah dan aktifitas sosial lainnya. Kita patut menghargai upaya pemerintah melalui corong MUInya untuk meningkatkan kesadaran berpolitik. Sekali lagi patut dihargai. Akan tetapi, fatwa haram golput bukan satu-satunya solusi dalam meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009 nanti. Ini akan menjadi sumber polemik dimasyarakat karena dalam konteks memilih sebagai hak fatwa mengharamkan golput tak perlu dikeluarkan oleh MUI. Dengan fatwa itu, memilih berubah dari hak menjadi kewajiban bagi warga negara. Dilain sisi harus diakui pula bahwa rendahnya partisipasi masyarakat berpengaruh pada legitimasi hasil pemilu. Untuk itu pemerintah tidak perlu segan-segan untuk menindak siapa saja yang menghalangi orang lain agar tidak mengikuti pemilu. Tindakan tegas ini terutama ditujukan kepada oknum yang dengan sengaja menghasut orang lain untuk melakukan hal yang sama. Namun, lagi-lagi menggunakan fatwa MUI sebagai senjata pamungkas adalah langkah yang kurang tepat. Fatwa MUI dalam masalah ini telah masuk kategori berlebihan. Dasar pengambilan hukum dan kekhawatiran MUI sebenarnya diantisipasi dalam sistem demokrasi sehingga tidak akan ada kekosongan pimpinan. Fatwa MUI itu menguliti kulit bukan substansi. Harus dipahami bahwa fatwa MUI bukan hukum positif yang mengikat publik termasuk umat Islam karena hanya bersifat imbauan atau pendapat kolektif ulama. MUI pun tak memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan publik. Fatwa haram MUI pada golput mengindikasikan adanya intervensi agama dalam urusan politik pemerintahan. MUI sebagai sebuah lembaga keagamaan seharusnya berfungsi mengatur hajat keyakinan seseorang, bukan untuk urusan politik pemerintahan. Terlebih lagi karena negara sendiri telah menunjukkan komitmennya untuk menekan angka golput. Hal itu telah diatur dalam UU tersendiri yang menegaskan akan adanya sanksi hukum bagi siapa saja yang menganjurkan sehingga tidak perlu di fatwakan. Berdasarkan UU nomor 2/2008 tentang partai politik juga ditegaskan, parpol berfungsi sebagai pendidikan politik, baik bagi anggotanya maupun masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya. Berdasarkan UU itulah mustinya parpol-parpol bisa meningkatkan kinerja partai mereka sehingga dengan sendirinya mampu meningkatkan partisipasi masyarakat. Inilah solusi yang paling efektif ketimbang menggunakan MUI dengan fatwa haramnya. Parpol mustinya memberikan aksi nyata sehingga masyarakat secara langsung bias merasakan manfaat dari suara dan dukungan yang mereka berikan kepada partai politik dalam pemilu. Tentu saja kinerja parpol perlu ditingkatkan dan menekan sekecil mungkin peluang terjadinya kasus korupsi dan skandal moral yang terjadi dikalangan anggota dewan yang berperan besar menurunkan kepercayaan publik kepada integritas moral partai politik. Jadi pada intinya kinerja partailah yang perlu ditingkatkan bukan dengan fatwa haram golput. Hal ini bukan menjadi alasan pula untuk menkampanyekan golput karena hal tersebut bersifat fatal dan merusan pendidikan politik masyarakat. Golput dapat merusak konsolidasi demokrasi yang dibangun dan memancing munculnya mimpi pada pemimpin dictator. Kampanye golput adalah cara yang terlalu ekstrim dalam menghukum partai politik. Tetapi fatwa haram juga bukan solusi yang bijak. Golput dan fatwa haram sama-sama ekstrim. Dua-duanya tidak produktif dalam pembangunan demokrasi.